KH Abdul Wahab Hasbullah Pemikir Progresif NU
Prinsip  kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan  mengurangi ruh  spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang  Muslim. 
 KH  Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama besar yang dimiliki   Indonesia. Kiai Wahab merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama   (NU), bersama dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri.
Ketokohan  dan keilmuan yang dimilikinya, telah diakui sejumlah  kalangan, apalagi  di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Kiai  Wahab merupakan  pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU  dan membaginya  dalam dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai upaya  menyatukan dua  generasi berbeda, yakni kalangan tua dan muda.
Tahun  1916, ia mendirikan organisasi  Islam bernama Nahdlatul Wathan  (Kebangkitan Tanah Air). Kemudian pada  1926, ia ditunjuk sebagai ketua  Tim Komite Hijaz yang dikirim ke Makkah  untuk bertemu dengan Raja Saud  (Arab Saudi), yang bermazhab Wahabi,  Ketika itu, gerakan Wahabi di  Makkah berencana untuk menghancurkan  berbagai situs Islam agar tidak  menjadi ‘berhala’ bagi umat. Kiai Wahab  meminta kebijakan Raja Saud  untuk situs-situs Islam tidak dihancurkan.  Tujuannya agar umat bisa  mengambil hikmah dan pelajaran dari situs-situs  tersebut. Persoalan ini  pula yang melandasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari  untuk mendirikan  Nahdlatul Ulama tahun 1926.
Saat  pendudukan Jepang di Indonesia, Kiai Wahab pernah menjadi  Panglima  Laskar Mujahidin (Hizbullah). Dan ketika melawan Jepang ini,  bersama  pasukannya, Kiai Wahab berhasil membebaskan KH M Hasyim Asy’ari  dari  penjara. Dan setelah Indonesia merdeka, pengasuh pondok pesantren   Tambak Beras, Jombang, ini pernah pula menjadi anggota Dewan   Pertimbangan Agung (DPA), bersama dengan Ki Hajar Dewantara, pendiri   Taman Siswa.
Haus akan Ilmu
KH Wahab Hasbullah dilahirkan pada Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dan wafat pada 29 Desember 1971. Ayahnya, Kiai Said, adalah pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Fatimah.
KH Wahab Hasbullah dilahirkan pada Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dan wafat pada 29 Desember 1971. Ayahnya, Kiai Said, adalah pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Fatimah.
Semenjak  kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai  pemimpin dalam  segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara  hidup seorang  santri. Ia diajak shalat berjamaah, dan sesekali  dibangunkan malam hari  untuk shalat tahajud.
Tak  hanya itu, sang ayah juga membimbingnya untuk menghafalkan Juz  Amma  dan membaca Alquran dengan tartil dan fasih. Lalu ia dididik  mengenal  kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil (tipis) dan  isinya  diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga yang tebal.  Misalnya,  Kitab Safinah Annaja, Fath al Qorib, Fath al-Mu’in, Fath  al-Wahab,  Muhadzdzab dan Al Majmu’. Ia juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir,  Ulum  al-Qur’an, Hadits, dan Ulum al-Hadits.
Kemauan  yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak  semenjak masa  kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang   dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab berada dalam asuhan   langsung ayahnya.
Kemudian,  ia menghabiskan masa remajanya dengan menimba ilmu di  sejumlah  pesantren. Ia pernah belajar di Pesantren Langitan Tuban,  Pesantren  Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang. Ia juga  pernah  berguru kepada Syekh R Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura dan  KH M  Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.
Tak  puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, pada usia  sekitar  27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah untuk menuntut  ilmu. Di  tanah suci itu, ia mukim selama lima tahun dan belajar pada  Syekh  Mahfudz at-Tirmasi (Termas, Pacitan) dan Syekh al-Yamani. Setelah   pulang ke Tanah Air, ia langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama   dengan penuh kebanggaan.
Tashwirul Afkar
Di kalangan pesantren, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai seorang ulama yang berpandangan modern. Ia selalu menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan umat Islam Indonesia.
Di kalangan pesantren, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai seorang ulama yang berpandangan modern. Ia selalu menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan umat Islam Indonesia.
Untuk  itu, ia mendirikan surat kabar, yaitu harian umum Soeara  Nahdlatul  Oelama atau juga dikenal dengan Soeara NO dan Berita Nahdlatul  Ulama.
Kiai  Wahab juga membentuk kelompok diskusi antarulama, baik di  lingkungan  NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya, pada 1914 di  Surabaya.  Kelompok diskusi bentukan Kyai Wahab ini diberi nama Tashwirul  Afkar  (Pergolakan Pemikiran).
Mula-mula  kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang  terbatas. Tetapi,  berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang  diterapkan dan  topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan  kemasyarakatan yang  luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi  sangat populer dan  menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh  Islam dari berbagai  kalangan bertemu dalam forum itu untuk  memperdebatkan dan memecahkan  permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul  Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga  menjadi  ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh  nasional  sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan  generasi  tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke  seluruh  kota di Jawa Timur. Bahkan, gaungnya sampai ke daerah-daerah  lain di  seluruh Jawa.
Tak  hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul,   kelompok ini juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh   pergerakan di Indonesia. Karena sifat rekrutmennya yang lebih   mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, akhirnya kelompok   diskusi ini menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada   pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan  dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kiai  Wahab bersama  KH Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi  Nahdlatul  Wathan yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916.  Dari  organisasi inilah KH Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh  dari  ulama pesantren yang sepaham dengan pemikirannya. Di antara ulama  yang  berhimpun itu adalah Kiai Bisri Syamsuri (dari Denanyar Jombang),  Kiai  Abdul Halim (Leimunding Cirebon), KH Alwi Abdul Aziz, Kiai Ma’shum   (Lasem), dan Kiai Cholil (Kasingan Rembang). Sementara di kalangan   pemudanya disediakan wadah, Syubban al-Wathan (Pemuda Tanah Air).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting bagi kaum Muslim Indonesia.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting bagi kaum Muslim Indonesia.
Ia  telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip  kebebasan  berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa  keberagamaan  yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat  tidak akan  mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan  seorang  Muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum  Muslim  justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan  dengan pisau  analisis keislaman.
Pada  1920, Kiai Wahab bersama dengan Dr Soetomo merintis terbentuknya  Islam  Studie Club. Melalui Islam Studie Club, kedua tokoh pergerakan  ini  merintis sebuah gerakan yang kelak menjadi cikal bakal munculnya   pemikiran yang memberikan arah bagi kerja sama antara kekuatan Islam dan   Nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa   mengenyampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan  terbesar  yang diberikan seorang ulama kepada bangsa.
Melalui  Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubban al-Wathan,  maupun Islam  Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan  tokoh keagamaan  kian memuncak. Hal ini menimbulkan dampak makin  bergeloranya semangat  cinta Tanah Air di kalangan pemuda. ed:sya
Mengembangkan Dakwah Melalui Media
Bersama  tokoh NU lainnya, Kiai Wahab pernah membeli sebuah percetakan  beserta  sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23  Surabaya.  Dari sini kemudian ia merintis tradisi jurnalistik modern  dalam NU. Ini  dilandasi oleh pemikirannya yang sederhana, yaitu  bagaimana  menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang  selama ini  dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di  pesantren.
Dari  percetakan ini kemudian diterbitkan majalah tengah bulanan  Soeara  Nahdlatul Oelama. Selama tujuh tahun majalah ini dipimpin Kiai  Wahab  sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu  disempurnakan  oleh Kiai Machfudz Siddiq dan namanya diganti menjadi  Berita Nahdlatul  Ulama. Di samping itu diterbitkan pula Suluh Nahdlatul  Ulama, lalu  Terompet Anshor, dan majalah berbahasa Jawa Penggugah. Dari  tradisi  kepenulisan ini NU pernah melahirkan jurnalis-jurnalis ternama,  seperti  Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki  surat  kabar prestisius seperti Duta Masyarakat. nidia ed:sya
Inspirator GP Ansor
Keberadaan  Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor) tidak terlepas dari  peran KH Abdul  Wahab Hasbullah. Kelahiran organisasi pemuda NU ini  berawal dari  perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang  muncul di  tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di  bidang  pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader.
KH  Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang   berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru   di saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan   Islam.
Dua  tahun setelah perpecahan itu, pada 1924, para pemuda yang  mendukung KH  Abdul Wahab Hasbullah membentuk wadah dengan nama Syubbanul  Wathan  (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal   berdirinya GP Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti   Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul   Oelama (ANO).
Penggunaan  nama Ansor ini merupakan saran KH Wahab Hasbullah. Nama  ini diambil  dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada  penduduk  Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan  menegakkan  agama Allah. Dengan demikian, keberadaan GP Ansor dimaksudkan  dapat  mengambil hikmah serta teladan terhadap sikap, perilaku, dan  semangat  perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor  tersebut.  Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar  sahabat  Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang, dan bahkan pelopor dalam   menyiarkan, menegakkan, dan membentengi ajaran Islam.
Meski  ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal  organisatoris  belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada  Muktamar NU  ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada 10 Muharram 1353 H atau 24  April  1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen)  pemuda NU.
Dimasukkannya  ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur  kelembagaan NU berkat  perjuangan kiai-kiai muda seperti KH Machfudz  Siddiq, KH A Wahid  Hasyim, KH Dachlan Kertosono, Thohir Bakri, dan  Abdullah Ubaid serta  dukungan dari ulama senior KH Abdul Wahab  Hasbullah.
Pada  masa penjajahan Jepang, keberadaan organisasi-organisasi pemuda,   termasuk ANO, diberangus. Setelah revolusi fisik (1945-1949) usai,   tokoh ANO Surabaya, Mohammad Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk   mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH A   Wahid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu. Maka, pada 14 Desember 1949   lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru, yakni Gerakan   Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP   Ansor).


 
 
0 comments :
Post a Comment