Sejauh   bukti-bukti historis yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan   bahwa Kitab Kuning menjadi text books, references, dan kurikulum dalam   sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang, baru   dimulai pada abad ke-18 M: Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan   bahwa pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai   terjadi pada pertengahan abad ke-l9 M ketika sejumlah ulama Nusantara,   khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di Makkah.
Perkiraan   di atas tidak berarti bahwa Kitab Kuning, sebagai produk intelektual,   belum ada dalam masa-masa awal perkembangan keilmuan di Nusantara.   Sejarah mencatat bahwa, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16 M, sejumlah   Kitab Kuning, baik dengan menggunakan bahasa Arab” bahasa Melayu,  maupun  bahasa Jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi dan  kajian  mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan  corak  keilmuan yang dicerminkan Kitab Kuning, betapapun juga, tidak  bisa  dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang,   kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan Kitab Kuning di   pesantren-pesantren.
Acapkali   dipertanyakan mengapa, misalnya, hanya fiqih, ushuluddin, tasawuf,   tafsir, hadis, dan bahasa Arab yang menjadi disiplin ilmu utama di   pesantren-pesantren? Tentu saja,jawaban atas pertanyaan ini hanya bisa   dirumuskan secara memuaskan bila mempertimbangkan perkembangan   intelektual Islam Nusantara sejak periode awal pembentukannya.   Bagaimanapun juga, pembakuan Kitab Kuning di pesantren sangat berkaitan   dengan tradisi intelektual Islam Nusantara kurun awal.
Asal-usul   dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara   sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang   menekuninya. Di antara mereka -untuk menyebut beberapa nama adalah   Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, AbdurrahmanWahid,   dan Azyumardi Azra. Dalam berbagai karyanya, masing-masing intelektual   itu memberikan analisis dan penilaian atas masalah ini.
Walaupun   berbeda rumusan karena perbedaan pendekatan yang digunakan, hasil   kajian mereka agaknya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam   mempertimbangkan dua faktor penting, yakni 1) kontak ulama Nusantara   dengan ulama Timur Tengah seba- gai bagiandari proses internasionalisasi   Islam, dan 2) interaksi (ketegangan) budaya Islam dengan budaya lokal   sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua  faktor  ini berperan dalam membentuk dan inewarnaitorak keilmuan Islam   Nusantara seperti, antara lain, tercermin dalam tradisi pendidikan   pesantren, khususnya di Jawa.
Dalam   penelusurannya yang bersifat sosio-historis, TaufikAbdullah menangkap   lima gelombang pemikiran keislaman Nusantara. Gelombang-gelombang itu   dimaksudkan sebagai pola hidup keberagamaan (Islam) yang mencerminkan   pandangan keislaman secara kolektif dan permanen di masa tertentu, tidak   individual dan tidak fragmentaris. Karenanya, terhadap kelima  gelombang  itu, ia tidak memberikan label yang ketatberkenaan dengan   disiplin-disiplin keilmuan, kecuali sekadar menyebutkan   tekanan-tekanannya saja. Sebaliknya, ia menerangkan perkembangan sikap   umat (community)dalam memperlakukan Islam sebagai jalan hidup, termasuk   dalam kaitan- nya dengan kekuasaan.
Gelombang   pembentukan pemikiran Islam, yang disebut gelombang pertama oleh  Taufik  Abdullah, baru berlangsung di Nusantara sepanjang abad ke-13 M  sampai  dengan abad ke-16 M. Dari bukti- bukti yang dapat dipercaya,  baik dalam  bentuk batu nisan di Samudeta Pasai, buku-buku sejarah  tradisional  semisal Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, maupun   laporan-laporan pengelana asing, seperti Marco Polo dan Ibnu Batutah,   dapat dipastikan bahwa kekuatan Islam sudah hadir pada abad ke-13 M di   ujung Pulau Sumatera (Samudera Pasai). Meskipun demikian, sampai abad   ke-14 M, kekuasaan itu belum tampil sebagai hegemoni politik paling   berpengaruh dan masih kalah jauh dari kekuasaan Hindu-Budha, Majapahit,   yang pada waktu itu telah berdiri di ujung timur pulau Jawa. Barulah   pada pertengahan abad ke-15 M dan awal abad ke-16 M, kekuasaan Islam   memegang hegemoni politik terbesar di Nusantara melalui kerajaan Malaka   yang telah memeluk Islam-di wilayah-wilayah perairan (maritim).
Yang   terpenting dari gelombang ini adalah bahwa Islam sudah tampil tidak   hanya sebagai agama dan komunitas, tetapi sudah menjadi kekuatan yang   berpengaruh di hadapan tradisi lokal Hindu-Budha. Internalisasi ajaran   Islam telah sampai pada tahap yang cukup ekspresif dan demonstratif.   Islam dan komunitasnya sudah merasa beda dari non-Islam, kafir, yang   telah hadir sebelumnya. Dalam gelombang ini pula, pandangan dan   pemikiran keislaman yang berkembang sudah sangat mendasar, seperti   menyangkut batas-batas antara dunia dan akhirat dan antara dunia kini   yang haqq, dan dunia lama yang kafir: Prinsip-prinsip kosmopolitanisme   Islam berarti bahwa semenjak gelombang ini sudah mulai diletakkan dengan   cara merujukkan kultur kehidupan umat Islam Nusantara dengan kultur   Islam yang universal. Penerjemahan syair-syair pemujaan atas Nabi   Muhammad saw. (barzanji) dan mitos-mitos Islam, baik dari Arab maupun   dari Parsi ke dalam buku-buku sejarah Melayu -yang kemudian   diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa -merupakan salah satu capaian   intelektual Islam penting dalam gelombang ini.
Gelombang   kedua dimulai sebagai kelanjutan atau konsekuensi dari capaian   gelombang pertama. Ajaran-ajaran Islam, sebagaimana diajarkan teks-teks   resmi, terus merambat dalam kehidupan masyarakat luas dan kemudian   menggantikan agama-agama masyarakat (folk-religions). Kontemplasi atau   renungan yang mempersoalkan manusia dalam kaitannya dengan Yang   Mahatinggi dan Mahaabadi dimulai dalam gelombang ini. Puncaknya adalah   kontemplasi Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumantrani di Sumatera, dan   Syaikh Siti Jenar di Jawa, sebelum akhirnya masing-masing dibantai oleh   Nuruddin ar-Raniri dan Walisongo.
Semenjak   gelombang ini, perumusan menyangkut otoritas dan landasan kekuasaan   Islam sudah dimasukkan dalam agenda kerja intelektual. Di Aceh,   misalnya, pada tahun 1603 M, Bukhari al-J auhari sudah menulis Taj   as-Sazathin (Mahkota Raja-raja), yang merupakan teks teori kenegaraan   paling awal dan penting di Nusantara. Pandangan yang ditawarkannya   selaras dengan teori-teori kenegaraan Sunni tradisional. Dalam bahasa   Taufik Abdullah, “peranan Taj as-Salathin [adalah] sebagai pemula ke   arah terumuskannya ‘ortodoksi kraton’ di Nusantara.”
Penting   untuk dicatat bahwa, karena observasinya bersifat sosiohistoris dan   umum, Taufik Abdullah seringkali gagal menangkap denyut intelektual   murni, khususnya yang berlangsung dalam gelombang ini. Misalnya saja, ia   tidak menyebut jaringan intelektual (intellectual networks) antara   ulama Indonesia dengan ulama Timur Tengah. Dalam hal ini, temuan   Azyumardi Azra sangat signifikan, yakni bahwa hubungan guru-murid telah   dibangun pada abad. ke-17 M di Hijaz antara ulama Timur Tengah, Ahmad   al-Qushashi dan Ibrahim al- Kurani, dengan ulama (murid) Jawi, ‘Abdur Ra   ‘uf as-Sinkili. Bahkan, jauh sebelum itu, masyarakat Makkah dan  Madinah  telah mengenal masyarakat “Jawi di Tanah Suci.” Tentu saja,  kontak  internasional seperti ini menjadi pintu masuk bagi Kitab Kuning  asal  Timur Tengah yang pada akhirnya memberikan arti tersendiri bagi  perkem-  bangan intelektual Islam di Nusantara.
Pada   paruh kedua abad ke-18 M, gelombang intelektual ketiga kemudian muncul   dalam bentuk intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan tata   kehidupan sosial. Fiqih, hukum-hukum Islam, yang menggantikan   kontemplasi sufistik, menjadi perhatian utama untuk “memaksa” lebih jauh   penyesuaian kecenderungan folk-religions ke dalam keharusan Islam,   official religions. Benih penyesuaian ini ditanam oleh ar-Raniri dengan   menyebutkan asma Allah dalam setiap permulaan teks-teks hikayatnya. Hal   ini, antara lain, bisa dilihat dalam buku Sirath al-Mustaqim, yang   kemudian diolah-ulang oleh Syaikh Arsyad al-Banjari. Gelombang ini   diwarnai, antara lain, oleh Wahabisme gerakan Paderi dan karya-karya   ortodoksi Kemas Fachruddin di Palembang. Pada tahap ini, intelektualisme   Islam memasuki masa purifikasi, pemurnian, yang berarti meninjau   kembali pola penganutan Islam yang berkembang di masa-masa sebelumnya.   Selain itu, gelombang ketiga ini juga diwarnai oleh kecenderungan kuat   institusionalisasi pemikiran sufistik dalam bentuk tarekat -tarekat   sebagai kelanjutan dari upaya pengikisan pemikiran sufi yang menyimpang   (heterodoks).
Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik): pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya pertimbangan syari’ah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam inilah, umpamanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syaikh Ahmad dengan para guru tarekat; kedua, antara kecenderungan guru sufistik dan tarekat yang “heterodoks” dengan yang “ortodoks.” Salah satu konflik yang paling intens adalah antara tarekat Syattariyah dengan Naqsyabandiyah.
Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik): pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya pertimbangan syari’ah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam inilah, umpamanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syaikh Ahmad dengan para guru tarekat; kedua, antara kecenderungan guru sufistik dan tarekat yang “heterodoks” dengan yang “ortodoks.” Salah satu konflik yang paling intens adalah antara tarekat Syattariyah dengan Naqsyabandiyah.
Yang   menarik untuk dicatat berkaitan dengan kajian ini adalah bahwa, di   balik dua pergolakan itu, pesantren tengah memasuki proses penyebaran   yang cukup cepat. Tanpa menyebut contoh-contoh kongkret, diakui oleh   Taufik Abdullah bahwa tradisi pesantren di masa itu makin kuat dan   jaringan guru-murid yang menjadi landasan kelembagaan semakin berakar.   Pada tahap ini pulalah pembakuan Kitab Kuning mulai terjadi di hampir   seluruh pesantren Nusantara. Dengan pengakuan ini, Taufik Abdullah   tampaknya ingin mengatakan bahwa perkembangan pesantren berkaitan erat   dengan proses pelembagaan tarekat-tarekat dengan warna syari’ah yang   kuat ( ortodoks) sebagai bias dari “penetrasi ” gerakan syari’ah-minded   yang dilancarkan kelompok puritan. Dalam posisi seperti itu, tampak   bahwa pesantren sangat unik dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan   menganggapnya sebagai benteng tarekat, atau sebagai pendukung fiqih,   atau sebagai penentang gerakan puritan-pambaharuan. Agaknya, ada peranan   sintesis yang dilakukan pesantren di tengah-tengah pergumulan tarekat   heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi, dan gerakan fiqih   versus gerakan tasawuf di sisi lain. Dalam situasi seperti ini, yang   lebih penting lagi adalah bahwa kontroversi keagamaan yang terjadi telah   melahirkan khazanah pemikiran dan renungan keagamaan (terutama dalam   bidang fiqih, hadis, dan tafsir) -suatu khazanah yang menyebabkan   Nusantara, seperti dikatakan Johns, harus diperhitungkan dalam “peta   pemikiran Islam.”
Kemudian,   muncul gelombang keempat yang menerima pengaruh kuat dari gelombang   ketiga. Kristalisasi norma-norma dalam bentuk fiqih, ditambah dengan   institusionalisasi sufistik yang berhasil diberlakukan dalam wilayah   (umat) yang sangat luas, harus berha- dapan dengan “keraton” yang   cenderung berada dalam kungkungan dominasi asing, kafir. “Ketegangan”   tidak bisa terelakkan antara ulama dengan penguasa, dan antara pesantren   dengan keraton. Disintegrasi ini pada dasarnya mencerminkan   “kebangkitan” politik (kekuasaan) Islam, dan situasi inilah yang memacu.   upaya penerjmahan pengalaman observasi politik ke dalam pemikiran dan   kegiatan keagamaan. Termasuk bagian dari pengalaman dan observasi itu   adalah gerakan Pan-Islamisme yang berupaya mewujudkan komunitas politik   Islam dalam skala global. Percobaan untuk menjadikan Islam sebagai   ideologi perjuangan politik versus Barat dan “keraton,” dengan demikian,   telah menjadi perhatian utama gelombang ini.
Ujung   dari perjuangan untuk mengentaskan kembali Islam dari keterjajahan   adalah, antara lain, lahirnya gerakan “reformis modern” yang menandai   munculnya gelombang kelima, yakni gelombang ter-akhir dalam sketsa   Taufik Abdullah. Berkembang dalam kompleksitas masyarakat dan dalam   ketersediaan media cetak, gelombang ini di- gerakkan oleh dua hal:   pertama, lahimya organisasi-organisasi sukarela yang. berdiri di atas   kesamaan kecenderungan kultural-agama dan aspirasi sosial; dan, kedua,   tersedianya media cetak, selain media oral, yang berfungsi menyebarkan   pandangan dan pemikiran keagamaan.
Sistematisasi   gerakan Islam tidak saja teljadi dalam lingkup instrumental, lembaga,   tetapi juga dalam lingkup konsep, gagasan. Misalnya saja, ketersediaan   media cetak sebagai salah satu instrumen komunikasi sekaligus bisa   niendorong lebih luas penyebaran karya-karya terjemahan, yang ikut   menyulut semangat keagamaan, terutama di masa   pascakemerdekaan:Perkembangan massif Kitab Kuning di pesantren juga   didukung oleh situasi seperti ini.
Beberapa   catatan mungkin bisa dibuat dari sketsa TaufikAbdullah di atas.   Pertama, akar terdalam dalam tradisi intelektual Islam di Indonesia   tampaknya adalah pemikiran sufisme yang, sayang sekali, tidak mencapai   perkembangan terjauhnya dalam wujud wacana-wacana intelektual   (intellectual discourses ), melainkan lebih dalamwujud perilaku-perilaku   moral, tarekat (thariqah ), dan tasawuf praktis (tashaw- wuf ‘amalf)   .Dengan demikian, tasawuf yang berkembang di Indonesia, termasuk di   pesantren hingga dewasa ini, adalah tasawuf yang sudah kehilangan   dimensi filosofisnya, tasawuf yang sudah “mati.”
Kemudian,   salah satu fase terpenting dalam perkembangan intelektual Islam di   Indonesia adalah intensifikasi pemikiran dan gerakan ortodoksi yang   mungkin mencapai mementumnya -seperti terekam dalam catatan sejarah   selama ini -pada akhir abad ke-19 M. Dalam sejarah Islam, ortodoksi   sendiri, mentirut beberapa pengamat, sebetulnya sudah dirumuskan pada   abad ke-11 M ketika al-Ghazali mensintesiskan pemikiran Islam   “ultra-tradisionalis” yang berkembang di bawah pengaruh Ahmad bih   Hanbal, dengan pemikiran “ultra-rasionalis” Mu’tazilah yang menerima   pengaruh pemikiran Hellenisme. Sementara itu, ortodoksi yang berkembang   di Indonesia agaknya lebih cenderung kepada ortodoksi yang berasal dari   gerakan Wahabi, suatu gerakan neo-”ultra-tradisionalis,” yang kurang   (atau tidak) memberi tempat bagi filsafat.dan peran akal (‘ aql) dalam   pemikiran keagamaan. Artinya, ortodoksi yang berkembang di Indonesia   adalah ortodoksi pasca-al-Ghazali yang sudah dijinakkan sisi   filosofis-nya, ortodoksi yang “mati.” Dengan demikian, pergulatan yang   terjadi antara tasawuf dan ajaran ortodoksi dalam sejarah pemikiran   Islam di Indonesia pada dasarnya adalah pertarungan dua gerakan yang   sama-sama sudah kehilangan dimensi rasionalitasnya.
" Wallahu 'Alam Bisshawab "

 
 
0 comments :
Post a Comment