Pendahuluan
Ketika   seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah   bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab  selain  agama bersifat manusiawi dan historis,  dirinya juga mempunyai  klaim  bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama  agama  dipandang sebagai gejala budaya dan sosial sementara yang kedua  sebagai  hal yang bersifat normatif-doktrinal. Dengan mengetahui hal  ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada  sisi-sisi mana yang akan  menjadi objek kajiannya dari Agama.
Setelah   objek kajian jelas, maka hal yang perlu diketahui kemudian ialah   bagaimana cara (pengkaji) mendekati objek (agama [Islam]) tersebut. Pada   sisi pemilihan dan pemakaian pendekatan ini nantinya akan mempengaruhi   atau bahkan menentukan corak hasil kajian. Ia bersikap objektif atau   tidak. Ia memasukkan motif tertentu atau tidak dan seterusnya.
Para   pakar study agama [Islam], dengan melihat kesatuan proses yang  panjang,  mengklasifikasikannya dalam dua pendekatan. Dalam istilah J.  Koren dan  Y.D. Nevo kedua pendekatan itu ialah pendekatan tradisional (The traditional approach) dan pendekatan kritik sumber (The source critical approach/ The revisionist approach).Sementara Charles J. Adams mengistilahkannya dengan pendekatan normatif (The normative approaches) dan pendekatan deskriptif (The descriptive approaches). Pendekatan normative meliputi: Pendekatan misionaris tradisional, pendekatan pembelaan muslim (The Muslim apologetic approach), dan pendekatan irenic   (simpati). Kemudian yang digolongkan pada pendekatan deskriptif antara   lain: pendekatan philologi dan sejarah, pendekatan ilmu sosial (social scientiific approach),  dan pendekatan Fenomenologis. Pada klasifikasi kedua dari Charles J.  Adams inilah yang akan menjadi  fokus pembahasan kajian paper ini. Hal  ini karena memang bagian pertama  dari klasifikasi Adams sudah dibahas  pada pertemuan sebelumnya dan  klasifikasi menurut J. Koren dan Y.D.  Nevo akan dibahas oleh pemakalah  yang lain. Selain alasan itu,  pengkususan bahasan ini juga dimaksudkan  supaya kajian ini bisa lebih  mendalam dan komprehensif.
Definisi Pendekatan Deskriptif
Sebelum   membahas kajian ini lebih jauh, tidak salah kiranya jika kami uraikan   terlebih dahulu apa definisi pendekatan deskriptif menurut Charles J.   Adams. Selain itu, supaya kajian ini tidak terputus dan mempermudah   dalam mencari titik persamaan-perbedaan serta karakteristiknya, kami   juga akan sedikit menyinggung tentang pendekatan normatif.
Dalam kajian artikelnya “Islamic Religious Tradition”,   Charles J. Adams tidak mendefinisikan pendekatan Deskriptif secara   eksplisit. Namun ia menjelaskan perbedaannya dengan pendekatan normatif   dan membanding-bandingkan keduanya  dengan istilah-istilah lain.
“   ….the normative to the descriptive, or in somewhat different terms,  may  be classified according to those that have a basis in the religious   commitment of the investigator and those that do not. The distinction   would seem to be most clear in the case of those who study islam (or  any  other religion) with the goal of proselytizing on the one hand, and   those who appear to respond to motives of intellectual curiosity on  the  other hand.”
Kutipan   di atas, dalam terjemahan bebasnya Adams mengatakan bahwa pendekatan   normatif dan deskriptif sama halnya dengan seorang pengkaji agama   (Islam) yang mempunyai komitmen keagamaan (Normatif) dan yang tidak   (Deskriptif), dan juga sama halnya dengan pengkaji agama yang mempunyai   sebuah tujuan subjektif (Normatif) dan yang hanya karena dorongan   keingintahuan secara intelektual (Deskriptif). Dari sini maka bisa   dipahami bahwa definisi atau maksud dari pendekatan normatif Adams   adalah suatu pendekatan study agama (Islam) yang masih memasukkan tujuan   subyektif pengkaji dan pastinya hasil kajian akan lebih cenderung pada   subjektif, sementara pendekatan Deskriptif adalah sebuah pendekatan   study agama (Islam) yang berusaha untuk menghilangkan tujuan-tujuan   subjektif pengkaji serta mendudukan objek kajian (agama) sebagai hal   yang profan yang bisa dikaji dengan menggunakan bantuan ilmu apapun dan   menggunakan alat kajian apapun untuk mendapatkan hasil yang ‘objektif’.
Meskipun   Adams mengklasifikasikan pendekatan study agama sebagaimana di atas,   namun ia menyatakan bahwa batas dari keduanya tidak ketat. Sebab seorang   pengkaji yang berusaha se-objektif mungkin pun dalam kajiannya, ia  akan  mengalami kesulitan untuk netral atau bahkan bisa dikatakan   ‘mustahil’.  Oleh karena itu Adams mengatakan bahwa batas antara kedua   pendekatan tersebut ialah kabur.
Macam-Macam Pendekatan Deskriptif
- Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philology and Historical Approach)
Perlu   ditegaskan terlebih dahulu bahwa pendekatan Filologi dan Historis  meski  sedikit berbeda namun dalam prakteknya berjalan beriringan.  Karena  sebab inilah kemungkinan besar yang mendorong Adams untuk  menyatukannya.
Sebagaimana   dalam kamus ilmiah, filologi adalah studi tentang budaya dan  kerohanian  suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau  sumber-sumber  tertulis miliknya.  Jadi dalam konteks ini pendekatan  filologi ialah sebuah pendekatan  studi agama (Islam) yang memfokuskan  kajiannya pada naskah-naskah atau  sumber-sumber keagamaan guna  mengetahui budaya dan kerohanian keagamaan  tersebut. Menurut keyakinan  filolog, aspek kehidupan dan kesalehan suatu  agama hampir seluruhnya  bisa diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah  atau literatur.
Karena   filologi banyak berkutat dalam kebahasaan, maka kunci utama filologi   ialah bahasa. Seorang filolog setidaknya harus menguasai bahasa sumber,   jika dalam Islam ialah bahasa Arab. Selain itu, menurut Adams seorang   filolog yang sedang mengkaji Islam idealnya juga menguasai bahasa-bahasa   tambahan lainnya, yakni Bahasa Persia, Urdu, Turki, Melayu dan   Indonesia. Hal ini karena dari wilayah-wilayah itu banyak muncul   literatur-literatur yang diidentikkan dengan Islam.
Kemudian   pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna   bahasa yang sudah tertulis sebagaimana dipahami pada saat pengarang   menulisnya. Selain itu, pendekatan historis juga menelusuri hubungan   karya satu dengan karya-karya lainnya, sehingga kualitas unsur-unsur   kesejarahannya dapat diketahui. Objek sasaran pendekatan historis   diantaranya sebagai berikut:
- Perubahan literarur dengan bahasanya sebagai akibat penerbitan ulang.
- Fungsi dan tujuan literatur tersebut ketika dibuat.
- Kedudukan pengarang pada saat membuat (jika manusia).
- Literatur sebagai wakil zamannya.
Dari   sini maka bisa diketahui dengan jelas bahwa hubungan antara pendekatan   filologi dan pendekatan historis ialah sangat erat, bahkan bisa   dikatakan sama. Dan dari sini pula bisa diambil pemahaman bahwa   pendekatan filologis historis setidaknya mempunyai beberapa kata kunci,   yakni naskah, bahasa, makna, pengarang, asal-usul atau latar belakang   kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah. Jika menurut Muhammad   Latif, pendekatan filologis historis mencakup tiga hal yang saling   bertautan, yakni tafsir, content analysis, dan hermeneutika.
- Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Pendekatan ini muncul sebagai kritik atas pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers   pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah   dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka dalam   mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains sebagaimana   yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog hanya mengkaji   kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari pada  masyarakatnya,  meski filolog membayangkan dapat melihat masyarakat  dalam teks.
Kemudian   ‘apa itu pendekatan ilmu sosial?’ menurut Adams sangat sulit untuk   didefinisikan, terutama semenjak terjadinya perdebatan para ilmuan   tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan. Apakah pendekatan   ilmu alam (sosiologi positivistik) memadai untuk mengkaji manusia yang   nota bene esensinya sangat berbeda?. Alam bersifat kontinyu, tetap dan   berulang-ulang sementara manusia (budaya dll) besifat temporal, dinamis   dan tak berulang. Perdebatan ini memunculkan metode baru dalam kajian   sosial, yakni metode Verstehen (pemahaman/ penafsiran) sebagaimana yang dikatakan Delthy. Para pencetus metode ini menyatakan bahwa metode ilmiah (scientific), yang bersifat Erklaren   (penjelasan) dengan menggunakan logika sebab-akibat sebagaimana dalam   menjelaskan alam, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan manusia yang   mempunyai perasaan, keinginan, serta impian. Alam memunculkan hukum   sedangkan manusia melahirkan ‘nilai’.Kemudian yang dimaksud dengan  pendekatan ilmu sosial disini ialah pendekatan scientis-positivistik  tersebut.
Ciri-ciri pendekatan scientis diantaranya ialah:
- Menyatakan bahwa metode-metode ilmu alam bisa digunakan dalam ilmu sosial.
- Mengandaikan adanya metode serta pengetahuan yang bersifat Objektif, netral, dan bebas nilai.
- Hasil penelitian sosial bisa dijadikan hukum-hukum sebagaimana dalam ilmu alam.
- Hasil penelitian harus bersifat teknis yang bisa digunakan untuk keperluan apapun, sehingga tidak bersifat etis serta lepas dari dimensi politis manusia.
- Melepaskan objek kajian dari historisitasnya.
- Cenderung membagi dan memetakan objek kajian dengan menggunakan kategori-kategori.
- Bersifat menjelaskan, empiris, dan akhirnya mengontrol. Dan masih banyak lagi.
Kemudian   dalam wilayah studi agama usaha yang ditempuh oleh pendekatan sosial   ilmiah ialah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam   kehidupan masyarakat. Tujuan dari pendekatan ini ialah menemukan aspek   empirik keberagamaan berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi   empirik dari agama itu akan membawa seseorang kepada agama yang lebih   sesuai dengan realitasnya (kontrol).
- Pendekatan Fenomenologi
Menurut   Adams, terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan  fenomenologi  dalam kajian agama (islam). Pertama, fenomenologi adalah  metode untuk  memahami agama seseorang yang termasuk di dalamnya usaha  sebagian  sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen mereka secara  ‘netral’  sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman  orang lain.  Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasikan  fenomena  dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius.  Secara umum  pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan  dan kesamaan  reaksi keberagamaan semua manusia secara sama tanpa  memperhatikan  dimensi ruang dan waktu  dan perbedaan budaya masyarakat.
Arah   pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna secara  jelas  tentang ritual dan upacara keagamaan, doktrin, dan reaksi sosial   terhadap pelaku keagamaan.  Singkatnya, pendekatan fenomenologi ialah  ingin menempatkan pengetahuan  pada pengalaman manusia serta mengaitkan  pengetahuan dengan hidup dan  kehidupan manusia sebagai konteksnya. 
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon   yang berarti gejala atau apa yang menampakkan diri pada kesadaran  kita.  Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat  yang  berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran   manusia. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Secara   operasional, fenomenologi agama menerapkan metodologi ‘ilmiah’ dalam   meneliti fakta religius yang bersifat subyektif seperti pikiran,   perasaan, ide, emosi, maksud, pengalaman, dan apa saja dari seseorang   yang diungkapkan dalam tindakan luar (fenomena).  Maka dari itu, dalam  operasionalnya pendekatan fenomenologi membutuhkan  perangkat lain,  misalkan sejarah, filologi, arkeologi, psikologi,  sosiologi,  antropologi, dan sebagainya.
Pendekatan   fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh dan   lebih fundamental (esensi) tentang fenomena keberagamaan manusia. Usaha   pendekatan ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk  mengembalikan  studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya  agar tidak  melampaui kewenangannya.
Wilayah Kajian Studi Islam
Selain   memetakan pendekatan, Adams juga merekomendasikan kepada sarjana yang   konsen dalam Study Agama Islam untuk memprioritaskan kajiannya pada   wilayah-wilayah tertentu, yakni: (1) Arabia pra-Islam, (2) Kajian   tentang Rasul, (3) Kajian atas al-Qur’an dan Hadits, (4) Hukum Islam,   (5) Filsafat, (6) Tasawuf, (7) aliran dalam Iislam, (8) Ibadah, dan (9)   agama rakyat.
Kesimpulan
Dari   ulasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pendekatan   deskritiptif ialah pendekatan kajian agama yang berusaha untuk   mendudukan objek (agama) sebagai hal profan dan melepaskan sebisa   mungkin nilai-nilai subjektif pengakaji. Kemudian, menurut pemetaan   Charles j. Adams, pendekatan deskriptif meliputi pendekatan filologi dan   sejarah, pendekatan Ilmu sosial, dan pendekatan fenomenologi. Selain   itu, Adams juga merekomendasikan wilayah-wilayah kajian Agama (Islam),   yakni (1) Arabia pra-Islam, (2) Kajian tentang Rasul, (3) Kajian atas   al-Qur’an dan Hadits, (4) Hukum Islam, (5) Filsafat, (6) Tasawuf, (7)   aliran dalam Iislam, (8) Ibadah, dan (9) agama rakyat.
Pertanyaan-Pertanyaan
- Pendekatan Filologi dan Historis
-Bisakah memahami masyarakat suatu agama hanya dengan melalui kajian naskah  tanpa mengkaji masyarakat itu sendiri?
- Pendekatan Ilmu Sosial
- Mungkinkah ilmu pengetahuan bersifat Objektif dan netral ?, dengan pertimbangan bahwa manusia tidak akan bisa lepas dari sebuah kepentingan.
- Bisakah metode ilmu alam digunakan untuk memahami manusia (budaya dll)? Dengan pertimbangan bahwa manusia mempunyai keinginan, emosi dan bersifat dinamis.
- Bisakah pengetahuan yang komprehensif didapatkan jika mereduksi sisi pengalaman dan pemahaman manusia terhadap agama?
- Pendekatan Fenomenologi
- Bisakah pemahaman komprehensif didapatkan jika hanya menekankan pada sisi fenomena, apalagi terkusus dengan hal-hal yang bersifat subjektif?

 
 
0 comments :
Post a Comment